Jumat, 01 Oktober 2010

SEJARAH SILAT SERA



Terdapat 4 aspek utama dalam pencak silat, yaitu:

   1. Aspek Mental Spiritual: Pencak silat membangun dan mengembangkan kepribadian dan karakter mulia seseorang. Para pendekar dan maha guru pencak silat zaman dahulu seringkali harus melewati tahapan semadi, tapa, atau aspek kebatinan lain untuk mencapai tingkat tertinggi keilmuannya.
   2. Aspek Seni Budaya: Budaya dan permainan "seni" pencak silat ialah salah satu aspek yang sangat penting. Istilah Pencak pada umumnya menggambarkan bentuk seni tarian pencak silat, dengan musik dan busana tradisional.
   3. Aspek Bela Diri: Kepercayaan dan ketekunan diri ialah sangat penting dalam menguasai ilmu bela diri dalam pencak silat. Istilah silat, cenderung menekankan pada aspek kemampuan teknis bela diri pencak silat.
   4. Aspek Olah Raga: Ini berarti bahwa aspek fisik dalam pencak silat ialah penting. Pesilat mencoba menyesuaikan pikiran dengan olah tubuh. Kompetisi ialah bagian aspek ini. Aspek olah raga meliputi pertandingan dan demonstrasi bentuk-bentuk jurus, baik untuk tunggal, ganda atau regu.

Bentuk pencak silat dan padepokannya (tempat berlatihnya) berbeda satu sama lain, sesuai dengan aspek-aspek yang ditekankan. Banyak aliran yang menemukan asalnya dari pengamatan atas perkelahian binatang liar. Silat-silat harimau dan monyet ialah contoh dari aliran-aliran tersebut. Adapula yang berpendapat bahwa aspek bela diri dan olah raga, baik fisik maupun pernapasan, adalah awal dari pengembangan silat. Aspek olah raga dan aspek bela diri inilah yang telah membuat pencak silat menjadi terkenal di Eropa.

Bagaimanapun, banyak yang berpendapat bahwa pokok-pokok dari pencak silat terhilangkan, atau dipermudah, saat pencak silat bergabung pada dunia olah raga. Oleh karena itu, sebagian praktisi silat tetap memfokuskan pada bentuk tradisional atau spiritual dari pencak silat, dan tidak mengikuti keanggotaan dan peraturan yang ditempuh oleh Persilat, sebagai organisasi pengatur pencak silat sedunia.


SEJARAH BEBERAPA ALIRAN SILAT :
( Sumber Tulisan : Bunga Rampai Pencak Silat, penulis Ochid AJ.)

Sejarah beberapa aliran/perguruan silat berikut ini dikutip dari beberapa sumber. Penulis tidak
dalam kapasitas menilai kebenaran fakta sejarah yang disampaikan :

I. Sejarah Aliran Silat Sera (sumber : http://sahabatsilat.com/forum/aliran-pencaksilat/sejarah-aliran-silat-sera/)
“Bismillahirrahmanirrahim”
Sejarah Singkat Aliran Silat Sera (Berkembang menjadi Perguruan Pencak Silat Pancassera)
Sumber : H. Cucu Sutarya, SH (Guru Besar/Pembina Utama).


Bermula dari kabilah-kabilah Gujarat Persia yang pada abad ke XVI dating ke daerah aceh,
selain berniaga mereka juga membawa dan menyebarkan agama serta kebudayaan Islam. Pada
abad ini agama Islam mulai masuk ke tanah Aceh. Saudagar-saudagar tersebut mendapat
pengetahuan agama dan kebudayaan dari Syekh Sayyidina Ali r.a. Beliau adalah sahabat dan
sekaligus menantu Rasulullah Muhammad SAW. Beliau dikenal sebagai seorang ahli dalam
strategi perang, terampil dalam mengolah raga, terutama dalam permainan pedangnya yang
selalu membuat ciut nyali lawan-lawannya, terutama musuh Islam pada saat itu. Tak heran jika
kemudian beliau dijuluki dengan julukan Syaifullah ( Si Pedang Allah).

Saudagar-saudagar inilah yang membawa pengetahuan agama dan kebudayaan itu hingga
sampai ke tanah Aceh. Hubungan mereka dengan penduduk asli terjalin dengan baik, terbukti
kemudian dengan munculnya seorang tokoh sufi setempat yang dikenal dengan sebutan Nyai
Panjate. Nama asli Nyai Panjate adalah Hajja Cut Suriah binti Teuku Syamannur. Suaminya
bernama H.Teuku Kaharuddin Solehuddin. Kedua suami istri tersebut mempelajari ilmu agama
dan kebudayaan (ilmu silat) dari Kabilah Gujarat Persia. Salah seorang guru mereka adalah
murid dari keturunan murid Syekh Sayyidina Ali r.a (Wallahu alam).

Ketika tentara kolonial Belanda (VOC) masuk ke tanah Aceh pada tahun 1752 M, kedua suami
istri tersebut bekerjasama dengan para pendekar silat lainnya mengadakan perlawanan
bersama rakyat untuk mengusir tentara belanda dari bumi Aceh. Pada mulanya mereka berhasil
memukul mundur pasukan Belanda, namun dengan siasat licik dengan cara mengadu domba
diantara rakyat Aceh, maka tentara Belanda dapat mengetahui kelemahan suami Cut Suriah
tersebut. Akhirnya pada saat yang naas bagi Teuku Kaharuddin Solehuddin, Belanda dapat
menembak roboh beliau dengan peluru emas, maka gugurlah beliau sebagai seorang syuhada.
Setelah suaminya gugur, Hj. Cut Suriah hijrah ke dalam hutan + 35 km ke pedalaman daerah
Bireun. Beliau mengasingkan diri sebagai seorang sufi. Pada waktu sedang hamil muda + 2
bulan. Dalam kehidupan sebagai seorang sufi kebutuhan hidup beliau bergantung kepada alam
di sekitarnya. Sesekali beliau berburu dengan alat sedanya, beliau sering menolong orang-orang
yang sedang mencari kayu atau hasil hutan lainnya, yang sering digangggu binatang buas
seperti harimau, ular, buaya dan lain sebagainya. Sudah sering beliau menyelamatkan
orang yang diganggu binatang buas, kemudian lenyap tanpa meningggalkan jejak. Dari mulut
ke mulut orang-orang yang pernah ditolongnya mengatakan bahwa adanya wanita berkerudung
rapi dengan ilmu silatnya yang tinggi sanggup melumpuhkan binatang buas yang menyerang
para pencari hasil hutan, hanya dengan beberapa gerakan saja. Yang karena keahliannya yang
sangat mengagumkan sehingga terkenal sebagai seorang wanita berkerudung yang misterius
sering menolong tanpa pamrih, kemudian pergi tanpa diketahui identitasnya. Sifat pendekarnya
membuat dicari orang untuk berguru, tetapi karena yang masih buas sehingga banyak yang
menjadi korban sebelum sampai ke tujuan.

Sekitar abad ke XVII, datanglah seorang laki-laki bernama Bapak Sera, beliau adalah seorang
yang gemar sekali bertualang. Dalam petualangannya beliau banyak sekali menimba ilmu
agama dan silat dari berbagai daerah, disamping berniaga sebagai mata pencariannya. Beliau
selalu merasa bahwa ilmunya masih saja kurang. Ketika beliau sedang berada di daerah Riau,
beliau mendengar berita yang tersiar akan keperkasaan wanita meisterius itu yang membuat
Bapak Sera bertekad untuk mencarinya ke tanah Aceh. Untuk mencapai tujuannya, tentu saja
harus melalui perjuangan yang amat berat, harus bertarung dengan harimau, ular, babi hutan,
begitu juga harus berhadapan dengan buaya setiap menyeberangi sungai. Jarak yang hanya
sekitar 30 km itu harus dicapai selama 3 bulan. Seandainya tidak berbekal ilmu silat, mustahil
dapat mencapai tujuan.

Rupanya segala sepak terjang Bapak Sera sudah diketahui oleh Ibu Hj. Cut Suriah. Ketika
Bapak Sera sedang tertidur lelap terdengar suara takbir adzan dari Hj. Cut Suriah yang
dikeraskan, tanda waktu shalat Shubuh telah tiba. Dari atas pohon besar Bapak Sera melihat
seorang berkerudung kuning dengan menggendong anak dipunggungnya turun, untuk
melaksanakan Shalat Shubuh. Kemudian Bapak Sera pun turun daripohon dan mengucap
salam, dibalas salamnya. Kemudian mereka melakukan shalat dengan berjamaah. Sebagai
seorang pendekar dan ahli sufi, semua sepak terjang dan tujuan dari Bapak Sera sudah
diketahui oleh Hj. Cut Suriah. Sekitar tiga bulan Bapak Sera melayani Hj. Cut Suriah, barulah
dengan perjuangan yang ulet mulailah diajarkan ilmu silat oleh Hj. Cut Suriah pada siang hari
dan ilmu agama pada malam harinya. Setelah sekitar satu setengah tahun Bapak Sera berlatih,
datanglah seorang pemuda yang terdampar, konon khabarnya dari tanah Sulawesi, bernama
Lago dan menjadi adik seperguruan dari Bapak Sera.

Kurang lebih 6 tahun berguru kepada Hj. Cut Suriah, Bapak Sera baru mengetahui nama asli
gurunya tersebut. Nyai Panjate adalah julukan yang diberikan Bapak Sera, karena setiap
menyusui anak perempuannya dengan terbungkus rapi selalu dikebelakangkan. Hj. Cut Suriah
bersumpah bahwa putrinya itu tidak akan pernah dilatihilmu silat. Atasm anjuran Sang Guru,
Bapak Sera dan Bapak Lagoa dianjurkan untuk kembali pulang ke tanah asalnya karena ilmu
yang didapat telah dinilai cukup. Mereka kembali ke tanah Jawa, Bapak Sera ke Bogor dan
Bapak Sera ke Tanjung Priuk, tepatnya daerah Lagoa sekarang, daerah itupun berasal dari
nama beliau karena wafat dan dimakamkan disana.

Dalam pengembaraannya, Bapak Sera bertemu dengan dengan seorang pedagang kain dari
Mongol yang bernama Yu Sak Liong, yang kemudian menjadi majikan Bapak Sera dalam
berniaga. Bah Yu Sak Liong adalah seorang Muslim yang lebih dikenal dengan nama Bah Yusa.
Mereka berniaga berkeliling sampai ke tanah Aceh. Awal perkenalan mereka dimulai ketika saat
Bapak Sera sedang menurunkan bal gulungan kain, tiba-tiba, satu gulungan kain tersebut jatuh
dan akan menimpa dirinya. Namun dengan gerakan tangannya, Bapak Sera berhasil menagkis
bal gulungan kain tersebut, hingga bal gulungan kain tersebut yang beratnya puluhan kilo
tersebut mental terkena tangkisannya dan tak sengaja melayang menuju kea rah Bah Yusa.
Namun dengan gerakan kakinya, Bah Yusa menyambut bal gulungan kain tersebut dan
menendangnya kearah tempat semula. Bah Yusa sangat kagum menyaksikan gerakan Bapak
Sera yang hanya dengan sedikit saja menggerakan tangan, dapat menyelamatkan diri, karena
jika orang lain yang mengalaminya pasti sudah cedera berat. Akhirnya mereka berkenalan dan
sepakat untuk tukar pikiran dalam hal ilmu mereka masing-masing.

Bah Yu Sak Liong ahli dalam beladiri menggunakan kaki sesuai dengan negeri asalnya yakni
Mongol, sedangkan Bapak Sera ahli dalam menggunakan tangan. Mereka mengadu ilmu kurang
lebih tiga hari tiga malam, dengan istirahat untuk mengerjakan shalat. Tak ada yang unggul
dalam adu ilmu tersebut, Bah Yu Sak Liong hangus kakinya, sedangkan Bapak Sera hangus pula
tangannya. Akhirnya mereka sepakat untuk mengabungkan ilmu mereka. Sejak saat itu maka
bertambahlah ilmu silat Bapak Sera dan Bah Yu Sak Liong. Ilmu mereka kemudian dikenal
dengan Aliran Sera, sesuai dengan nama penemunya yaitu Bapak Sera. Bah Yu Sak Liong
kemudian kembali ke Mongol dan Bapk Sera meneruskan pengembaraannya.

Suatu ketika Bapak Sera menyaksikan seorang pedagang kain keliling dari Cina Shantung
sedang dikeroyok olehsekelompok penyamun yang bermaksud merampoknya, namun Cina
tersebut dengan gesit dan lincah dapat mengalahkan para penyamun tersebut dengan hanya
bersenjatakan meteran kainnya sebagai senjata toya. Permainan toyanya sangat
mengagumkan, sampai-sampai bapak sera tidak beranjak dari tempatnya menyaksikan
permainannya. Namun naas bagi Cina tersebut, ketika sedang bertarung, kakinya dipatuk
seekor ular berbisa. Dia pinsan dan ditolong dan diobati oleh Bapak Sera hingga sembuh.
Sebagaitanda terima kasih, Cina tersebut meberikan seluruh kain dagangannya kepada Bapak
Sera, namun ditolak, meskipun demikian Bapak Sera tidak dapat menyembunyikan
keinginannya untuk belajar ilmu toyanya.

Maka dengan senang hati Cina Shantung tersebut mengajarkan ilmu toyanya kepada Bapak
Sera dan dalam waktu singkat telah dapat dapat menguasai ilmu toya tersebut. Malah sebelum
Cina Shantung tersebut kembali ke negeri asalnya, dia berkenan menurunkan seluruh ilmunya
kepada Bapak Sera dan mereka berdua mengangkat saudara. Bapak Sera mengembangkan
ilmunya sesuai dengan keadaan waktu itu, konon khabarnya beliau bermukim hingga wafat
dimakamkan di Tegal Harendong Rumpin Ciampea Bogor.

Salah seorang murid Bapak Sera yang paling menonjol adalah Bapak Mursyid atau yang lebih
dikenal dengan sebutan Bah Ocid yang berasal dari Kebonmanggis. Beliau inilah
yangmengembangkan Aliran Sera pada abad ke XVIII di daerah Bogor dan sekitarnya. Ciri-ciri
fisik Bah Ocid, tinggi sekitar 157 cm, rambut panjang sebahu, kuku tangan dan kaki sekitar 7
cm, sehingga kalau berjalan, aka nada bekas kuku kakinya menggores jalan yang dilaluinya.
Tak banyak hal ikhwal Bah Ocid, untuk lembih komplitnya kami masih berusaha mencari
datanya dari berbagai sumber.

Konon Bah Ocid ini selain menguasai Silat Sera, juga mempelajari ilmu istijrad. Kuku tangan dan kakinya dibiarkan panjang karena tak bias dipotong,
begitu pula rambutnya, mandi hanya dapat dilakukan setahun sekali yakni pada Bulan Maulud,
hal ini disebabkan ilmu istijradnya tersebut yang menyebabkannya. Pantangan ini kalau
dilanggar akan menyebabkan badan Bah Ocid menjadi hitam dan gatal-gatal. Jika Bah Ocid
sedang tidur, tak seorangpun berani membangunkannya, sebab dapat berakibat fatal, karena
refleknya yang sudah menyatu, walaupun sedang tidur, Bah Ocid dapat membuat orang yang
membangunkannya jatuh tunggang langgang. Kalau terpaksa orang yang membangunkannya
harus memakai galah atau tongkat panjang, itupun bisa patah-patah karena refleknya.
Sepengetahuan Bapak Sera bahwa Hj. Cut Suriah tidak pernah mengajarkan ilmu hitam,
adapun ilmu-ilmu hitam yang dipunyai oleh Guru-guru Sera adalah hasil pelajaran dari Guruguru
sebelumnya, karena berguru Silat Sera, fisik harus kuat dahulu, seperti Bah Ocid,
sebelumnya sudah mempunyai ilmu kebal, kejayaan, Batara Karang dan lain sebagainya.

Peristiwa Bapak Sera rupanya juga dialami oleh Bah Ocid, yakni pernah mengadu ilmu dengan
seorang Cina seorang pedagang koyo bernama Babah Tong, yang juga mahir ilmu silat.
Merekamengadu ilmu di pinggir kali Cipakancilan di Jalan Paledang, di depan Asrama Tentara
yang sekarang menjadi Kantor Dinas Pekerjaan Umum Propinsi. Babah Tong mengakui
keunggulan Bah Ocid, setelah itu hubungan mereka tetap berjalan baik. Babah Tong
menganggap Bah Ocid sebagai kakak sperguruannya. Kata Pabaton sekarang adalah berasal
dari nama beliau, karena tinggal disana. Bah Ocid banyak mempunyai murid, tetapi jarang
yang sampai kepada ajaran terakhirnya yaitu yang disebut Sera Geni, Gerak Rasa Sera, Rasa
Diri Sera dan Sera Manjak Pamungkas, yang merupakan filsafat Silat Sera. Kebanyakan hanya
sampai pada Langkah Opat Lipet, Kombinasi dan Tilu Eusi (Tiga Isi) beserta fungsinya atau
istilah Ajaran Sera disebut Rusiah (Rahasia).

Dalam hal ini hanya Bapak H. Ali Yoenoes Bin Kartadiredja, yang sampai kepada Langkah
Pamungkas. Beliau sebelum menjadi murid Silat Sera dari Bah Ocid terlebih dahulu banyak
belajar dari guru-guru silat terkenal di seluruh Tanah Jawa, diepkirakan tidak kurang dari 11
(sebelas) orang gurunya. Dengan bermodalkan silat-silat itulah baru dapat berguru kepada Bah
Ocid, konon khabarnya, setiap beradu fisik dengan Bah Ocid, kalau tidak berilmu tentulah
anggota badan yang terkena benturan akan menjadi hitam legam (tampak hangus). Bapak H.
Ali Yoenoes berasal dari Jombang, Jawa Timur, beliau malang melintang di dunia persilatan
sejak abad ke XVII dan XIX, karena beliau panjang umurnya sampai mencapai usia 103 tahun.
Beliau pernah dicoba oleh para pendekar berbagai daerah, namun Alhamdulillah belum pernah
kalah. Dahulu Pemerintah Kolonial Belanda sengaja mengadu domba para pendekar silat.
Mereka diharuskan bertarung sampai mati, dengan perjanjian tidak ada tuntutan apapun dari
pihak keluarga korban, dibawah panggung sudah disediakan keranda mayat. Belanda sengaja
mengadakan hal tersebut dengan maksud agar para pendekar silat tersebut tumpas dengan
sendirinya, hingga tidak ada yang ditakuti lagi oleh pihak Belanda. Acara tersebut diadakan
setiap tahun bertempat di dalam Istana Kebun Raya Bogor, dalam memperingati Ulang Tahun
Ratu Belanda, Ratu Wilhemina.

Pada awal mulanya Bapak H. Ali Yoenoes tidak menyadari siasat licik dari pihak Belanda
tersebut, maka pada setiap bertanding beliau pasti membunuh lawannya, tak kurang, 19 orang
mati ditangannya. Tetapi akhirnya beliau menyadari akan hal ini, maka setiap kali bertarung,
beliau tidak sampai membunuh lawannya yang kalah, namun cukup hanya dilukai saja dan
kemudian menyuruh lawannya tersebut untuk melarikan diri. Tindakan ini lama kelamaan
tercium juga oleh pihak Belanda dan akhirnya Bapak H. Ali Yoenoes untuk selanjutnya tidak
diperkenankan ikut pertandingan lagi, malahan beliau ditahan selamapertandingan
berlangsung. Para pendekar yang beliau selamatkan pada pertandingan tersebut, setiap Hari
Idhul Fitri dan Bulan Maulud selalu berkumpul dan bersilaturahmi di rumah Bapak H. Ali
Yoenoes di Gang Selot Paledang, sebagai rasa syukur dan tanda terima kasih telah31
diselamatkan nyawanya. Bapak H. Ali Yoenoes belajar silat pada Bah Ocid sekitar 9 tahun dan
beliau melatih selama 21 tahun.

Bapak H. Ali Yoenoes menunaikan ibadah haji pada tahun 1969. Salah seorang putra beliau
yang turut mengembangkan Silat Sera adalah Bapak Abdulrachman, atau lebih dikenal dengan
sebutan Pak Komang dan di dunia persilatan dijuluki Si Girimis, karena kecepatan tangan beliau
yang kalau mencecar lawan seperti hujan gerimis, putra lainnya adalah H. Rachmat atau lebih
dikenal dengan nama Pak Memet. Bapak H. Ali Yoenoes bin Kartadiredja meninggal pada tahun
1971 dalam usia 103 tahun, yang kemudian disusul oleh putranya yakni Bapak Abdulrachman
pada tahun 1983 dalam usia 64 tahun.

Salah satu murid yang dilatih oleh Bapak H. Ali Yoenoes dan Pak Komang adalah Bapak H.
Cucu Sutarya, SH Bin Tubagus Baban Sidik Ismaya. Beliau mulai berlatih pada Bapak H. Ali
Yoenoes sejak tahun 1957 hingga tahun 1968 dan mengembangkannya hingga sekarang.
Bapak H. Cucu Sutarya, SH menunaikan ibadah haji pada musim haji tahun 1998, sekitar bulan
Maret-April (Tahun 1418 Hijriah). Beliau pernah pula menimba ilmu dari berbagai sumber lain
seperti karate (Dan II Internasional) yudo, tinju (pernah juara tinju kelas bantam pada PON di
Surabaya), kuntau, yuyitszu, dan silat dari perguruan lain seperti Aliran Cikalong, Syahbandar,
Pamacan, Cimande, Ajrak. Hal ini dilakukan atas anjuran dari Bapak H. Ali Yoenoes sebagai
bahan pembanding dan sebagai ilmu tambahan saja, tetapi loyalitas tetaplah terpusat pada
Silat Sera yang kemudian beliau kembangkan menjadi Perguruan Pencak Silat PANCASSERA
(Lima Silat Sera, yaitu Sera Banyu, Sera Ringkus, Sera Bayu, Sera Putih dan Sera Geni). Khusus
untuk para Pelatih diajarkan Gerak Rasa dan Rasa Diri sebagai Langkah (Jurus Panjang)
terakhir dari Aliran Silat Sera. Bapak H. Cucu Sutarya, SH mendapat kepercayaan langsung dari
Bapak H. Ali Yoenoes untuk meneruskan perguruan. Beliau resmi mulai melatih sejak tahun
1968 di Bandung dan di Garut, kemudian di Bogor sampai sekarang. Hanya kepada beliaulah
Bapak H. Ali Yoenoes menurunkan seluruh ilmunya hingga tuntas untuk dikembangkan dan
diteruskan. Dengan demikian pewaris dan penerus satu-satunya adalah Bapak H. Cucu Sutarya,
SH.

Guru-guru lain dari Bapak H. Cucu Sutarya, SH adalah :
1. H. Adra’I Cianjur Selatan (Pengurutan dan Patah Tulang)
2. Kyai H. Baing Bakri Pasarean Cianjur (Cikalong)
3. Bah Rumanta Garut (Syahbandar)
4. Bah Djadja Gunungbatu Bogor (Pamacan)
5. Bah Maun Dreded Bondongan (Sera Pamacan)
6. Bah Enuh Tarogong Garut (Ajrak)
7. Liem Sen Thong Bogor (Kuntau dan Akunktur)
8. Meneer Ong Bogor (Yudo dan Yuyitszu)
9. Mr. Matsunaga Osaka Jepang (Karate)
10. Endang Ukaedi Bogor (Tinju)

Perguruan Silat Pancassera menjadi anggota IPSI pada tahun 1976. Sampai saat ini
perguruan telah banyak berkembang, bahkan sampai keluar Pulau Jawa yakni di Kalimantan
dan Maros, Sulawesi Selatan. Di Jawa sendiri Silat Sera tersebar luas, mulai dari Garut,
Bandung, Bogor, Sukabumi, Depok, Jakarta dan di mancanegara di Amerika Serikat, Norwegia
dan khusus di Belanda ada murid Bapak H. Ali Yoenoes yaitu Keluarga Van de Vries.

Pada perguruan Silat Pancassera khusus diajarkan :
• Ilmu beladiri Sera tangan kosong
• Ilmu beladiri senjata : golok tunggal, golok ganda, gobang (sejenis pedang), gada, toya
panjang, toya pendek, ruyung pendek, ruyung panjang, toya pendek, toya panjang, trisula,
tongkat rantai dua, rantai tiga (double stick, triple stick), pisau terbang, cambuk, cemeti, clurit
dan kombinasi senjata-senjata tersebut)
• Pengurutan keseleo, patah tulang.
• Tusuk jari, tusuk jarum (akupunktur.
• Peramuan obat-obatan tradisional.
• Seni pernapasan

Taleq Cimande


Taleq Cimande  :
1. Harus taat kepada Allah dan Rasul-Nya
2. Jangan melawan kepada ibu dan bapak dan wong atua karo
3. Jangan melawan kepada guru dan ratu (pemerintah)
4. Jangan judi dan mencuri
5. Jangan ria takabur dan sombong
6. Jangan berbuat zina
7. Jangan bohong dan licik
8. Jangan mabuk-mabukan dan menghisap madat
9. Jangan jahil, menganiaya sesama makhluk Tuhan
10. Jangan memetik tanpa izin mengambil tanpa minta
11. Jangan suka iri hati dan dengki
12. Jangan suka tidak membayar hutang
13. Harus sopan santun, rendah hati,ramah tamah dan saling menghargai sesama manusia
14. Berguru Cimande bukan untun gagah-gagahan, kesombongan, dan ugal-ugalan, tapi untuk mencari keselamatan dunia dan akherat